Jumat, 15 Oktober 2010

resolusi konflik global : Mencegah, Menghadapi, dan Mengakhiri Konflik

Dalam mengahadapi dunia yang anarki, konflik sering kali tidak dapat dihindari. Konflik bisa datang kapan saja, dimana saja, dan pada siapa saja. Untuk menangani suatu konflik, ada 3 macam tindakan dalam konflik kontemporer, yaitu pencegahan konflik (preventing Conflict), mengahadapi konflik yang tidak bisa dicegah dengan tindakan preventif (working on war zone), serta mengakhiri konflik (ending of conflict). Pencegahan konflik dilakukan dengan tujuan agar konflik itu tidak beubah menjadi sebuah tindak kekerasan. Langkah aktif yang dapat dilakukan untuk mencegah konflik ada dua tipe, yaitu light prevention dan deep prevention. Light prevention merupakan pencegahan konflik yang bertujuan untuk mencegah konflik laten menjadi suatu konflik senjata dengan kapasitas yang lebih “soft”. Dimana upaya ini tidak konsen pada akar permasalahannya, tetapi berusaha agar konflik yang sifatnya tidak membahayakan tersebut tidak menjadi konflik kekerasan yang kejam. Yangmana tindakan ini dilakukan sebelum konflik itu akhirnya menjadi suatu konflik fisik atau kekerasan. Contohnya dengan cara melakukan intervensi diplomatik, misi-misi jangka panjang, dan upaya mediasi privat. Sedangkan deep prevention adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah konflik dengan mencari akar permasalahan konflik yang terjadi, termasuk apa yang mendasari kepentingan suatu konflik tersebut. Jika diterapkan,light prevention tergambar dalam hubungan interstate, yang lebih melibatkan aktor lain yang tidak terlibat konflik. Dimana preventor tersebut sebagai konsultan dan mediator, memberi kesempatan pihak-pihak yang melakukan konflik untuk berdiplomasi dalam menghadapi suatu konflik agar konflik tersebut tidak meluas. Sedangkan deep prevention tergambar pada hubungan non-interstate, dimana kemampuan suatu negara dalam melakukan pencegahan untuk menyelesaikan konflik negaranya yang melihat akar permasalahannya dari sektor domestik, regional, maupun sektor internasional.

Jika tindakan pencegahan ini tidak berhasil sehingga pecah konflik, maka langkah yang harus diambil adalah bagaimana menghadapi konflik itu dan menyelesaikannya dengan resolusi konflik yang tepat. Ada 2 cara dalam menghadapi konflik, yang pertama secara short term yang mengupayakan untuk membangun perdamaian antara dua atau lebih kubu yang berkonflik dalam menghadapi konflik yang telah terjadi. yang kedua, secara long term, yang menyelesaikan konflik dengan memahami keadaan situasi yang terjadi sehingga bisa dicari konflik management selanjutnya setelah tindakan short term itu dilakukan. Dalam hal ini, transformasi-transformasi diupayakan sebagai respon tindak lanjut suatu konflik agar masalah yang telah mengakar, bisa di-manage dan ditemukan cara tepat untuk diselesaikan secara tepat pula. Jika konflik tetap saja terjadi, maka langkah akhir yang dapat dilakukan adalah dengan melibatkan mediasi atau pihak ketiga untuk mengatasi konflik yang sudah meluas. Caranya dengan melakukan negosiasi antar kedua belah pihak sehingga ditemukan suatu titik penyelesaian yang menguntungkan keduanya dan membuat konflik tersebut benar-benar selesai dan berakhir. Setelah selesai, usaha yang penting dilakukan adalah berusaha menjaga perdamaian (peace building) baik politik, sosial, ekonomi, dan budaya agar perdamaian bisa terlaksana dan terjaga dengan baik.

Sumber :

Miall, Hugh. 1999. Contemporary Conflict Resolution. UK : Politic Press.

makul : resolusi konflik global

KONFLIK

Berdasar pada nature of conflict, Konflik terdapat dan berada dalam suatu negara, yang bentuknya seperti perang sipil, pemberontakan senjata, kekerasan, dan bentuk perang dalam negeri lainnya. Dua elemen kuat yang sering dikombinasikan dalam suatu konflik yaitu identitas dan distribusi. Identitas seperi bahasa, agama, budaya, dan lainnya, sedangkan distribusi seperti hubungan dalam sumber daya ekonomi, politik, dan sosial dengan masyarakat. Konflik muncul karena adanya suatu kepentingan maupun keadaan yang berbeda dari yang apa diharapkan. Untuk meminimalisasi atau mengatasi suatui konflik, upaya penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan manajemen konflik. Manajemen konflik bukan suatu tindakan penyelesaian utuh tanpa konflik apapun, tetapi lebih mengarah pada penyelesaian bagaimana menyelesaikan dengan cara yang konstruktif dan bagaimana menentang pihak lawan dengan melakukan proses kerjasama. Mengapa melakukan proses manajemen konflik dan apa yang hal itu termasuk solusi? Untuk mencapai hasil, perlu adanya proses. Proses disini meliputi bagaimana cara pihak berselisih memperoleh outcome yang diinginkan bersama. Karena konflik bisa berdampak negatif maupun berdampak positif. Konflik adalah interaksi dari beberapa keinginan dan tujuan yang berbeda dan berlawanan yang didalamnya perselisihan bisa diproses, akan tetapi tidak secara pasti diselesaikan. Dalam hal ini ada kebutuhan untuk bergeser menjauh dari berpikir mengenai penyelesaian konflik menjadi mengelola konflik/manajemen konflik. Demokrasi merupakan sistem manajemen konflik tanpa adanya tindak kekerasan. Demokrasi menawarkan sarana penanganan damai bagi konflik yang mengakar melalui kerangka kerja yang saling terbuka, adil dan dapat dipercaya. Sistem demokratis dalam pemerintahan memiliki derajat legitimasi, kemampuan saling terbuka, fleksibilitas dan kapasitas untuk beradaptasi terus menerus yang memunkinkan konflik dikelola secara damai. Dalam hal ini negosiasi adalah suatu opsi yang digunakan dalam pencapaian suatu manajemen konflik. Pihak yang berselisih tidak secara langsung berbicara kepada pihak lawan untuk mencari solusi, tapi mereka harus berkomunikasi secara efektif. Negosiasi dilakukan bisa menghasilkan solusi yang integratif.

Referensi :

Harris, Peter and Ben Reiley, eds. 1998. Democracy and Deep-Rooted Conflict. Option of Negoti\ation. Stockhlom : IDEA

timteng : PERAN ELIT POLITIK TERHADAP MASALAH LEGITIMASI NEGARA-NEGARA DI TIMUR TENGAH

Perkembangan kehidupan politik negara-negara Timur Tengah tidak terlepas dari bagaimana peran elit politik dalam menjalankan kekuasaan politiknya. Negara-negara Arab sedang menjalankan modernisasi. Dari kekuasaan yang monariki menuju modernisasi atau demokrasi. Para pemimpin Arab mendambakan modernisasi karena mereka merasa ada sesuatu yang tidak mereka punya seperti yang dimiliki oleh bangsa lain. Terlebih dengan adanya tindak ketidakpuasan masyarakat Arab terhadap sistem politik lama, kehidupan sosial dan ekonomi yang ada, standar kehidupan yang rendah, kemampuan yang terbatas, pendidikan yang kurang, bahkan masalah sosial yang lainnya. Disinilah peran pemimpin atau elit politik diperlukan untuk membawa suatu perubahan negara Arab yang lebih baik.

Masalah pusat pemerintahan di dunia saat ini Arab adalah legitimasi politik. Dimana Kurangnya sumber daya politik sangat diperlukan terutama sifat pemimpin politik Arab yang kurang mempunyai karakter kuat maupun otokratis tidak stabil dari semua pemerintah Arab saat ini. Gaya memimpin dan perilaku pemimpin merupakan dua hal yang sangat menentukan keberhasilan dalam memimpin kelompoknya. Masalah legitimasi ini juga dikarenakan masalah komunitas dan konflik di negara Arab yang tidak mencapai suatu titik penyelesaian. Jika membahas perjalanan elit politik di Timur Tengah, penting pula untuk mengetahui gaya kepemimpinan politik mereka dalam menjalankan tatanan pemerintahan suatu negara, khususnya di Timur Tengah, dan bagaimana gaya kepemimpinan mempengaruhi politik domestik dan internasional. Tiga gaya kepemimpinan tersebut adalah tradisional, berokrasi modern, dan karismatik. Dan untuk mengilustrasikan 3 gaya tersebut, saya memfokuskan pada 3 figur penting abad 20 dalam poliik mesir, yaitu King Farouk (tradisional), Gamal Abdel Nasser (charismatic), dan Anwar Sadat (berokrasi modern).

Pemimpin tradisional tergantung pada kekuatan tradisi, atau interpretasi tentang hal itu, untuk mendirikan legitimasinya sebagai penguasa. Legitimasi mengacu pada persepsi publik akan hak penguasa dalam posisi kepemimpinan. Tradisi yang dimaksud berdasarkan keputusan di dalam keluarga kerajaan sendiri. Sebagai contoh, Mohammed Reza Pahlevi, raja pertama Iran yang bertanggung jawab atas rakyatnya, karena itu ia melakukan pelayanan yang penting bagi masyarakat iranian. Sama halnya dengan raja Mesir yang melakukan hal serupa. Dengan ini, menunjukkan bahwa elit tradisional responsif terhadap kesulitan kontemporer. Tradisi dikerahkan untuk melegitimasi perubahan dan perubahan dan kepemimpinan baru. Hak atau legitimasi para pemimpin tradisional yang sering terikat di persimpangan tradisi antara politik dan keagamaan , merupakan faktor paling penting dalam melegitimasi rezim tradisional. Dan dilain sisi, pemimpin tradisional telah berusaha untuk memodernisasi sistem politik, sosial, dan ekonomi tanpa mengorbankan hak mereka untuk memerintah. Contohnya, Raja Farouk dari mesir. Banyak karakteristik pemimpin politik tradisional yang dipamerkan dalam pengalaman Raja Farouk mesir, raja Mesir terakhir. Dimana pada kepemimpinannya, terjadi krisis legitimasi karena tindakannya sendiri. salah satu ciri utama dari kepemimpinan politik tradisional yaitu keengganan yang besar untuk berbagi kekuasaan politik dengan siapa pun, terutama dengan kelompok-kelompok massa. Hal ini bukan untuk menyiratkan bahwa Farouk kehilangan kebijakan atau ambisi, malah sebaliknya. Karena ambisi yang dia bawa termasuk untuk memperluas basis kekuasaan politiknya. Farouk menunjukkan orientasi tradisional untuk kekuasaan politik dengan cara lain. daya tarik dengan upacara, ritual kemegahan, dan keadaan mencerminkan kepedulian pemimpin tradisional untuk mengkonfirmasi pernyataan dan pemeliharaan otoritas tradisional. Caranya malah menimbulkan hedonism yang berlebihan. Sehingga malah bukan simpati yang didapat, tetapi pertentangan dari rakyat yang menganggap kebijakannya bertolakbelakang pada ketentuan islam yang menjadi landasannya. Sehingga Farouk mengalami krisis kepercayaan dalam kepemimpinan tradisional, yang merusak banyak pemimpin timur tengah lainnya pada abad ini.

Tipe yang kedua adalah birokrasi modern. Birokrasi Modern didefenisikan dengan ciri-ciri tertentu seperti adanya spesialisasi, berdasarkan pola hukum, serta adanya pemisahan yang tegas dengan urusan pribadi pejabat. Max Weber mengidentifikasikan ciri-ciri birokrasi modern dalam bentuk yang ideal (ideal type) dan menyebut birokrasi tersebut sebagai birokrasi yang rasional dan berdasarkan pada hukum rational legal bureaucracy. Hal ini dicontohkan oleh Anwar Sadat yang menggunakan attitude sebagai para penyelenggara birokrasi publik yang dapat beradaptasi pada model Birokrasi Modern yang sangat menekankan profesionalitas. Kehadiran menariknya adalah ketiadaan pencampuradukan tanggung jawab resmi dengan kepentingan pribadi pejabat. Inilah sisi birokrasi yang dibawa oleh Anwar Sadat. Hal ini srupa oleh kepemimpinan Gamal Abdel Nasser yang kharismatik. Dimana perannya untuk mem

Dengan masalah yang terjadi di negara Arab, sudah terlihat bahwa yang menjadi faktor para elit politik di Timur Tengah banyak mengalami krisis legitimasi adalah adanya krisis yang terjadi secara berurutan, dimana krisis identitas, krisis konstitusi, krisis kelembagaan dan krisis kepemimpinan telah terjadi sebelumnya yang akhirnya mencapai krisis kebijakan. Dan saat semuanya sudah mengalami krisis maka krisis legitimasipun terjadi.

Oleh karena itu, sebaiknya para elit politik melakukan strategi khusus untuk mengatasi krisis legitimasi yang terjadi saat ini. Tatanan legitimasi dapat dibentuk oleh tradisi, efek yang positif, sikap emosional, kepercayaan rasio dalam nilai yang mutlak, atau dengan pengakuan legalitasnya. Dalam masyarakat modern, dasar legitimasi pada umumnya adalah kepercayaan/keyakinan dalam legalitas, kesiapan untuk menyesuaikan dengan aturan yang secara formal benar dan telah diberlakukan dalam prosedur ysang jelas. Mengapa? Karena sebenarnya kesulitan yang dihadapi politisi arab adalah masyarakat arab tidak lagi tradisional, dalam arti bahwa sektor-sektor yang awalnya terpengaruh oleh adat, status, takhayul, tidak lagi menajdi dasar terpercaya untuk memerintah. Dimana masyarakat arab tidak lagi tradisional, tetapi menuju modernisasi yang menyamarkan konduktivitas legitimasi. Selain itu, kemungkinan legitimasi didasarkan pada keyakinan rasional dalam nilai absolut, misalnya dinyatakan dalam penerimaan filsafat hukum alam di barat abad pertengahan, juga berkurang legitimasi di dunia arab modern karena penurunan yurisprudensi Islam sebagai faktor penting dalam pembentukan kebijakan publik. Sehingga penting bagi para elit politik fokus pada perjuangan untuk mengembangkan legitimasi berdasarkan legalitas, yang merupakan inti masalah legitimasi arab. Dan dengan pemimpin pribadi yang kuat dapat menghasilkan legitimasi bagi sebuah kekuasaan atau seluruh sistem. Rezim atau gerakan oposisi yang berhasil dalam mengidentifikasi diri dengan program ideologi yang sangat menonjol mungkin memenangkan dukungan positif. Tentu di dunia Arab para pemimpin yang berhasil mengasosiasikan dirinya dengan pemenuhan tujuan abstrak tapi sangat bernilai yang berkaitan dengan kewajiban suci, identitas perusahaan, atau sangat prinsip dinilai cenderung bertahan lebih lama dan melakukan lebih baik dari mereka yang dapat menimbulkan kepatuhan hanya atas dasar takut atau kemanfaatan. pemimpin seperti itu bahkan mungkin berhasil dalam menghasilkan jenis scarcest tetapi paling abadi legitimasi dari semua legitimasi, struktural atau hukum, yaitu, rasa hormat umum untuk kebenaran dari pengambilan keputusan dan peran ajudikatif dan prosedur dari sistem politik itu sendiri.

Referensi :

“Political Leadership in the Contemporary Midlle East,” dalam Andersen, Roy R. et al, 1998. Politics and Change in the Middle East. New Jersey: Prentice Hall, hlm. 202-226.

“The Legitimacy Problem in Arab Politics”, dalam Hudson, Michael C., 1977. Arab Poltics: the Search for Legitimacy. New Haven and London: Yale University Press, hlm. 1-30.

timur tengah : Identitas Kultural dan Integrasi Nasional

Sepanjang wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara, terdapat bentuk pemisah antara nasional dan teritori yang dapat dibuat dan diolah seluruhnya dalam geografi politik baru. Hal yang dimaksud adalah batas. Meskipun tidak ada wewenang, tetapi tidak layu. Karena mereka merupakan bentuk dominan dari pemandangan politik. Negara merupakan sebagai dasar, legitimasi, dan unit yang universal dari organisasi geografi politik di Timur Tengah dan Afrika Utara. Didalamnya terdapat integrasi nasional yang melindungi dan menjamin teritori dan masyarakat. Integrasi nasional bergantung pada kekuatan relatif dari kekuatan sentrifugal, yang memisahkan negara dan memperbesar perpecahan, serta kekuatan sentripetal, yang mempersatukan dan mengikat bersama.

Konsep negara dan bangsa sering salah pengertian dan tertukar. Negara adalah bentuk yang legal, ada entitas politik, dan punya entitas territorial yang jelas. Sedangkan bangsa merupakan entitas kelompok atau lebih gampang diartikan sebagai kelompok masyarakat besar yang layak dengan budaya bersama, sifat kepentingan yang sama seperti agama, bahasa, institusi politik, nilai, dan pengalaman sejarah. Tidak ada bangsa yang mempunyai negara sendiri, begitupula negara yang tidak ditinggali oleh satu bangsa. Negara dan negara-bangsa bukan persamaan. Itu berarti bahwa proses integrasi terlibat dalam pembangunan bangsa dalam negara atau membentuk negara-bangsa.

Tidak ada satu kekuasaan terbesar yang menghambat integrasi nasional di Timur Tengah dan Afrika Utara daripada geografi yang sebanding antara negara dan bangsa. Dalam hubungannya, sering diasumsikan bahwa pertumbuhan kapitalisme ekonomi, modernisasi, perkembangan komunikasi, dan kenaikan spatial dan interaksi sosial mengurangi kesatuan subnasional dan menggantikan mereka dengan kesadaran dan identitas nasional sendiri.

Untuk mengetahui bagaimana pengaruh integrasi nasional pada perkembangan negara di Timur Tengah, maka kita harus membahas mengenai budaya politik, dimana keduanya saling mempengaruhi. Konsep budaya politik telah digunakan secara luas sebagai alat untuk menginterpretasikan tingkah laku politik. Dalam penggunaan biologi, budaya merupakan kehidupan organism yang medium. Sifat medium itu akan mempengaruhi kelangsungan hidup dan tingkah laku dari organism itu. Budaya dalam aplikasi sosial berarti kumpulan dari kepercayaan adat, kekuatan sosial, dan sifat material yang terdapat dalam tradisi yang berbeda pada kelompok sosial. David Easton mengatakan bahwa wewenang politik nilainya adalah “ who gets what, whem, and how”. Kepercayaan, kekuatan, dan sifat yang terdapat pada budaya sosial sangat mempengaruhi proses sosial politik. Bahkan aspek budaya yang tidak terlihat secara langsung dalam politik seperti sifat mnusia, juga mempengaruhi tingkah laku politik. Analisis budaya politik Arab seperti karakter diatas inilah yang akan dibahas lebih lanjut untuk mengetahui masalah legitimasi dalam politik Arab. Sidney Verba menyatakan dimensi dari budaya politik adalah kepercayaan bersama tentang identitas nasional dengan masyarakat tetangga mengenai output pemerintahan dan proses pengambilan keputusan.

Bangsa itu berada dalam tujuan yang kolektif dari kelompok orang untuk tinggal bersama dalam satu komunitas. Dalam dunia Arab terdapat hubungan dekat secara berkala dalam identitas bersama. Contohnya identitas nasional dari Jordania dan Kurds yang diwarnai dengan tribalism, Saudi Arabia dan Libia dengan symbol islamnya. Bangsa Arab sebagai kelompok individual dengan prinsip bangsa Arab yang muncul menjadi kesadaran bersama dalam sejarah yang sama serta budaya dan bahasa yang berbeda.

Tanda dari identitas modern Arab yaitu dalam dimensi etnik, bahasa Arab dan budaya, serta dalam dimensi agama, adalah Islam. Kedua dimensi ini, penduduk Arab sangat berlimpah dan homogen. Etnografer melihat bahasa sebagai kunci karakteristik dari komunitas etnik, meskipun fisik, warna kulit, dan pengalaman sejarah yang sama itu juga penting. Berdasarkan Atlas, negara Arab merupakan penduduk paling homogeny di dunia, hanya Sudan (dengan propinsi bukan Arab selatan), Moroko, dan Algeria ( dengan komunitas Berber mereka), serta Iraq ( dengan populasi Kurdishnya) yang rata-rata runtuh. Sisanya, mesir, Jordania, Saudi Arabia, Yemen, dan revolusi Libya yang hampir sepenuhnya dalam budaya dalm bahasa Arab, dan banyak etnik kecik yang minoritas ditemukan, seperti Lebanon, Syria, Tunisia, Kuwait, dan negara Gulf. Dunia Arab sekarang juga terdapat kaum Islam yang sangat berlimpah. Hanya ada beberapa kelompok minoritas Kristen yang penting seperti di Syria, Jordania, Mesir, dan komunitas Paleastina. Dan banyak muslim yang ditemukan di negara Arab kecuali Sudan dan Lebanon.

Ditengah pluralism budaya di Timur Tengah, seperti budaya, bahasa, identitas, kelompok, maupun agama, pengaruh integrasi nasional cukup berperan. Karena dengan adanya integrasi nasional, maka kesatuan dari identitas yang telah dibangun di negara Timur Tengah khususnya Arab menjadi lebih kokoh. Tetapi integrasi nasional yang terjadi di Timur Tengah sekarang ini bersifat sentrifugal, yakni banyak hal yang memisahkan negara dan memperbesar perpecahan. Contoh pluralism yang ada di negara Timur Tengah adalah Mesir dan Libanon. Dimana pemerintahan Mesir adalah diktator, tetapi kondisi masyarakatnya begitu plural dan memungkinkan ada prototipe pluralisme bagi Timur Tengah. Sayangnya, kondisi negara Mesir saat ini tidak sekuat pada era 1950-an hingga pertengahan 1960-an, terutama di bawah pengaruh nasionalisme-Nasserisme. Sementara itu, komposisi masyarakat majemuk di Libanon, dalam kadar tertentu itu merupakan bentuk yang ideal untuk membangun pluralisme. Tetapi sekarang ini kondisi politik Libanon cenderung kisruh dan tidak demokrasi, sehingga terjadi konflik perpecahan dengan Israel. Contoh pluralisme agama yang juga membuat perpecahan. Pada awalnya, Muslim dan Kristen di Timur Tengah memang telah memberikan model ko-eksistensi dan kerjasama historis. Tapi ketika ada ketegangan, baik karena alasan religius atau ketika bahasa dan simbol religius yang sakral dilecehkan untuk alasan-alasan yang lebih duniawi, Timur Tengah dengan mudah memberikan model-model intoleransi, dan tentunya konfrontasi dengan kekerasan. Hal ini menyatakan bahwa integrasi nasional memang diperlukan dengan melihat situasi dan kondisi Timur Tengah sekarang ini. Jika menelaah dari situasi sekarang, sulit untuk dicapai suatu pluralism yang bersolidaritas ditengah perpecahan yang banyak terjadi, sebagai contoh konflik Iran-Iraq, maupun Israel-Palestina. Dan prospek kedepan mengenai integrasi nasional terhadap pluralism budaya yang ada di Timur Tengah bisa menjadi acuan untuk membentuk suatu negara Arab yang lebih bisa menjalin kerjasama terutama menyangkut agama.

Referensi :

Drysdale, A. dan G.H. Blake, 1985. “National Integration: Problems, Processes, and Prospects”, dalam The Middle East and North Africa: A Political Geography. New York: Oxford Univeristy Press, pp. 149-190.

Hudson, Michael C., 1977. “The Elements of Arab Identity”, dalam Arab Poltics: the Search for Legitimacy. New Haven and London: Yale University Press, pp. 33-55.